Pada abad ke-18, sejarah menceritakan adanya sekolompok orang berlayar dari provinsi Fujian, Cina untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Di tengah perjalanan, mereka terombang-ambing dan tidak kunjung menemukan daratan. Mereka kemudian mamanjatkan doa kepada dewa laut, Kie Ong Ya, agar diberikan petunjuk.
Di malam harinya, mereka melihat seberkas cahaya di kejauhan dan terus mengikuti cahaya tersebut hingga sampai ke wilayah daratan di Selat Malaka. Rombongan yang berjumlah 18 orang ini semuanya memiliki marga Ang dan dipercaya menjadi leluhur orang-orang Cina di Bagansiapiapi, Riau sehingga mayoritas keturunan Cina di Bagansiapiapi hingga kini bermarga Ang atau Hong.
Sebagai ucapan syukur para perantau itu kepada Dewa Kie Ong Ya, mereka membakar tongkang atau perahu mereka sebagai sesajen untuk Sang Dewa. Untuk mengenang para leluhur dalam menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur terhadap Dewa Kie Ong Ya, tradisi Bakar Tongkang ini tetap dilakukan oleh keturunan mereka hingga saat ini setiap Go Cap Lak. Go berarti bulan ke-lima dan Cap Lak berarti tanggal enam belas, perayaan Go Cap Lak jatuh pada tanggal 16 bulan kelima penanggalan bulan setiap tahunnya.
Nama Bagansiapiapi sendiri diambil dari cerita cahaya yang menuntun rombongan 18 perantau itu yang ternyata adalah cahaya kunang-kunang yang seperti nyala api di tengah laut. Oleh karena itu, para perantau tersebut menyebut daerah yang mereka temukan Baganapi, yang kemudian menjadi Bagansiapiapi.
Kehidupan di Bagansiapiapi yang lebih baik membuat para perantau mengajak sanak keluarganya untuk pindah. Latar belakang keluarga nelayan dan keahlian mereka menangkap ikan, turut mendorong kemajuan Bagansiapiapi hingga menjadi penghasil ikan laut terbesar nomor 2 di dunia, setelah Norwegia.